A. Pendahuluan
Globalisasi yang ditandai dengan kemajuan cepat serta mendunia di bidang
infromasi dan teknologi dalam dua dasawarsa terakhir, telah berpengaruh
terhadap peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran sebelumnya.
Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi, dan
politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran,
serta cara-cara kehidupan yang berlaku dalam konteks global dan lokal.
Kondisi ini “menuntut” individu untuk memiliki kualitas daya saing, daya
suai, dan kompetensi yang tinggi.
Seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan kuantitas dan kualitas
hidup individu, permasalahan yang dihadapi mahasiswa juga semakin
kompleks. Permasalahan dimaksud sering kali tidak cukup bahkan tidak
mampu diatasi sendiri oleh mahasiswa. Ia juga tidak terselesaikan dengan
tuntas hanya dengan diberi pelayanan dalam bentuk informasi dan
nasihat. Mahasiswa memerlukan pelayanan yang secara sistematis mampu
membantu mengentaskan masalah yang dihadapinya sehingga ia mampu
mengembangkan dirinya ke arah peningkatan kualitas kehidupan efektif
sehari-hari (effektive daily living).
Konseling perorangan merupakan salah satu jenis layanan yang dapat
dilaksanakan oleh dosen wali untuk membantu mahasiswa dalam memecahkan
masalah yang dihadapi-nya.
B. Pengertian dan Prinsip Dasar
Konseling merupakan sistem dan proses bantuan untuk mengentaskan masalah
yang terbangun dalam suatu hubungan tatap muka antara dua orang
individu (klien yang menghadapi masalah dengan konselor yang memiliki
kualifikasi yang dipersyaratkan).
Bantuan dimaksud diarahkan agar klien mampu memecahkan masalah yang
dihadapinya dan mampu tumbuh kembang ke arah yang dipilihnya, sehingga
klien mampu mengembangkan dirinya secara efektif. Hubungan dalam proses
konseling terjadi dalam suasana profesional dengan menyediakan kondisi
yang kondusif bagi perubahan dan pengembangan diri klien. Konseling
perorangan merupakan layanan konseling yang diselenggarakan oleh seorang
konselor terhadap seorang klien dalam rangka pengentasan masalah klien.
Kerangka kerja konseling perorangan dilandasi oleh prinsip dasar sebagai
berikut : (1) klien adalah individu yang memiliki kemampuan untuk
memilih tujuan, membuat keputusan, dan secara umum mampu menerima
tanggung jawab dari tingkah lakunya, (2) konseling berfokus pada saat
ini dan masa depan, tidak berfokus pada masa lalu, (3) wawancara
merupakan alat utama dalam keseluruhan kegiatan konseling, (4) tanggung
jawab pengambilan keuputusan berada pada klien, (5) konseling
memfokuskan pada perubahan tingkah laku dan bukan hanya membantu klien
menyadari masalahnya.
Tujuan konseling adalah memfasilitasi klien agar terbantu untuk (1)
menyesuaikan diri secara efektif terhadap diri sendiri dan
lingkungannya, sehingga memperoleh kebahagiaan hidup, (2) mengarahkan
dirinya sesuai dengan potensinya yang dimilikinya ke arah perkembangan
yang optimal, (3) meningkatkan pengetahuan dan pemahaman diri, (4)
memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang benar, (5) mengurangi
tekanan emosi melalui kesempatan untuk mengekspresikan perasaannnya (6)
meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan yang
efektif, dan (7) meningkatkan hubungan antar pribadi.
C. Asas Konseling
Kekhasan yang paling mendasar pelayanan konseling adalah hubungan
interpersonal yang amat intens antara klien dan Konselor. Hubungan ini
benar-benar sangat mempribadi, sehingga boleh dikatakan antara kedua
pribadi itu “saling masuk-memasuki”. Konselor memasuki pribadi klien dan
klien memasuki pribadi Konselor. Proses layanan konseling dikembangkan
sejalan dengan suasana yang demikian, sambil di dalamnya dibangun
kemampuan khusus klien untuk keperluan kehidupannya. Asas-asas konseling
memperlancar proses dan memperkuat bangunan yang ada di dalamnya.
1. Asas Kerahasiaan
Tidak pelak lagi, hubungan interpersonal yang amat intens sanggup
membongkar berbagai isi pribadi yang paling dalam sekalipun, terutama
pada sisi klien. Untuk ini asas kerahasiaan menjadi jaminannya. Segenap
rahasia klien yang terbongkar menjadi tanggung jawab penuh Konselor
untuk melindunginya. Keyakinan klien akan adanya perlindungan yang
demikian ini menjadi jaminan untuk suksesnya pelayanan.
2. Asas Kesukarelaan dan Keterbukaan
Kesukarelaan penuh klien untuk menjalani proses pelayanan konseling
bersama Konselor menjadi buah dari terjaminnya kerahasiaan pribadi
klien. Dengan demikian kerahasiaan-kesukarelaan menjadi unsur
dwi-tunggal yang mengantarkan klien ke arena proses pelayanan konseling.
Asas kerahasiaan-kesukarelaan akan menghasilkan keterbukaan klien.
Klien self-referral pada awalnya dalam kondisi sukarela untuk bertemu
dengan Konselor. Kesukarelaan awal ini harus dipupuk dan dikuatkan.
Apabila penguatan kesukarelaan awal ini gagal dilaksanakan maka
keterbukaan tidak akan terjadi dan kelangsungan proses layanan terancam
kegagalan. Menghadapi klien yang non-self-referral tugas Konselor
menjadi lebih berat, khususnya dalam mengembangkan kesukarelaan dan
keterbukaan klien. Dalam hal ini, seberat
apapun pengembangan kesukarelaan dan keterbukaan klien. Dalam hal ini,
seberat apapun pengembangan kesukarelaan dan keterbukaan itu harus
dilakukan Konselor, apabila proses
konseling hendak dihidupkan.
3. Asas Keputusan Diambil oleh Klien Sendiri
Inilah asas yang secara langsung menunjang kemandirian klien. Berkat
rangsangan dan dorongan Konselor agar klien berfikir, menganalisis,
menilai, dan menyimpulkan sendiri; mempersepsi, merasakan dan bersikap
sendiri atas apa yang ada pada diri sendiri dan lingkungannya; akhirnya
klien mampu mengambil keputusan sendiri berikut menanggung resiko yang
mungkin ada sebagai akibat keputusan tersebut. Dalam hal ini Konselor
tidak memberikan syarat apapun untuk diambilnya keputusan oleh klien;
tidak mendesak-desak atau mengarahkan sesuatu; begitu juga tidak
memberikan semacam persetujuan ataupun konfirmasi atas sesuatu yang
dikehendaki klien, meskipun klien memintanya. Konselor dengan tegas
“membiarkan” klien tegak dengan sendirinya menghadapi tantangan yang
ada. Dalam hal ini
bantuan yang tidak putus-putusnya diupayakan Konselor adalah memberikan
semangat (dalam arah “kamu pasti bisa”) dan meneguhkan hasrat,
memperkaya informasi, wawasan dan persepsi, memperkuat analisis atas
antagonisme ataupun kontradiksi yang terjadi. Dalam hal ini suasana yang
“memfrustasikan klien” dan sikap “tiada maaf” merupakan caracara
spesifik untuk membuat klien lebih tajam, kuat dan tegas dalam melihat
dan menghadapi tantangan.
4. Asas Kekinian dan Kegiatan
Asas kekinian diterapkan sejak paling awal Konselor bertemu klien.
Dengan nuansa kekinianlah segenap proses layanan dikembangkan, dan atas
dasar kekinian pulalah kegiatan klien dalam layanan dijalankan. Klien
dituntut untuk benar-benar aktif menjalani proses perbantuan melalui
pelayanan konseling, dari awal dan selama proses layanan, sampai pada
periode pasca layanan. Tanpa keseriusan dalam aktivitas yang dimaksudkan
itu dikhawatirkan
perolehan klien akan sangat terbatas, atau keseluruhan proses layanan itu menjadi sia-sia.
5. Asas Kenormatifan dan Keahlian
Segenap aspek teknis dan isi pelayanan konseling adalah normatif; tidak
ada satupun yang boleh terlepas dari kaidahkaidah norma yang berlaku,
baik norma agama, adat, hukum, ilmu, dan kebiasaan. Klien dan Konselor
terikat sepenuhnya oleh nilai-nilai dan norma yang berlaku. Sebagai ahli
dalam pelayanan konseling, Konselor mencurahkan keahlian profesionalnya
dalam pengembangan pelayanan konseling untuk kepentingan klien dengan
menerapkan segenap asas tersebut di atas. Keahlian Konselor itu
diterapkan dalam suasana normatif terhadap klien yang sukarela, terbuka,
aktif agar klien mampu mengambil keputusan
sendiri. Seluruh kegiatan itu bernuansa kekinian dan rahasia pribadi sepenuhnya dirahasiakan.
C. Komponen Konseling
1. Konselor
Konselor adalah seseorang yang karena kewenangan dan keahliannya memberi
bantuan kepada klien. Dalam konseling perorangan, konselor menjadi
aktor yang secara aktif mengembangkan proses konseling untuk mencapai
tujuan konseling sesuai dengan prinsip-prinsip dasar konseling. Dalam
proses konseling, selain menggunakan media verbal, konselor dapat juga
menggunakan media tulisan, gambar, media elektronik, dan media
pengembangan tingkah laku lainnya. Semua itu diupayakan konselor dengan
cara-cara yang cermat dan tepat, demi terentaskannya masalah yang
dialami klien.
Untuk mengelola konseling secara efektif, seorang konselor dituntut
memiliki seperangkat sifat kepribadian dan keterampilan tertentu.
Meskipun dalam tartaran konsep berkembangan pandangan yang bervariasi
tentang konselor yang efektif, namun mereka mengakui bahwa
karakteristik pribadi dan perilaku konselor kontributif bagi pembinaan
relasi yang bermakna yang akan mendorong klien untuk berkembang.
Beberapa kompetensi pribadi yang signifikan untuk dimiliki oleh
konselor antara lain, pengetahuan yang baik tentang diri sendiri
(self-konwledge), kompetens, kesehatan psikilogis yang baik, dapat
dipercaya (trustworthtness), kejujuran, kekuatan atau daya (strength),
kehangatan (warmth) pendengar yang aktif (active responsiveness),
kesabaran, kepekaan (sensitivity), kebebasan, dan kesadaran holistik.
Kompetensi tersebut akan mendorong konselor untuk menjadi pribadi
terapetik, yang antara lain dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1. Memiliki gagasan yang jelas mengenai keyakinan tentang hidup,
manusia, dan masalah-masalah, kesadaran dan pandangan yang tepat
terhadap peranannya, dan tanpa syarat memandang dan merespons klien
sebagai pribadi
2. Mampu mereduksi kecemasan, tidak tertekan, tidak menunjukan sikap bermusuhan, tidak membiarkan diri “menurun” kapasitanya.
3. Memiliki kemampuan untuk hadir bagi orang lain, yang berupa
kerelaan untuk ikut mengambil bagian dengan orang lain dalam suka duka
mereka, hal mana timbul dari keterbukaan konselor terhadap masalah dan
perasaan sendiri, sehingga dia sanggup menghayati dan menunjukkan empati
dengan kliennya.
4. Mengembangkan diri menjadi konselor yang otonom, melalui
pengembangan gaya konseling yang sesuai dengan kepribadiannya sambil
terbuka untuk belajar dari orang lain, dan mempelajari berbagai konsep
dan teknik konseling, serta menerapkannya sesuai dengan konteks dan
pribadinya.
5. Respek dan apresiatif terhadap diri sendiri, artinya konselor
harus memiliki suatu rasa harga diri yang kuat yang meyanggupkannya
berhubungan dengan orang lain atas dasar hal-hal yang positif dari
klien.
6. Berorientasi untuk tumbuh dan berkembang, dalam pengertian
berusaha untuk terbuka guna memperluas cakrawala wawasannya. Konselor
tidak hanya merasa puas dengan apa yang ada dan berupaya mempertanyakan
mutu eksistensinya, nilai-nilai, dan motivasinya, serta terus menerus
berusaha memahami dirinya sendiri karena konselor hendak mendorong
pemahaman diri itu dalam diri klien.
2. Klien
Klien adalah seorang individu yang sedang mengalami masalah, atau
setidak-tidaknya sedang mengalami sesuatu yang ingin disampaikan kepada
orang lain. Klien menanggung semacam beban, uneg-uneg, atau mengalami
suatu kekurangan yang ia ingin isi, atau ada sesuatu yang ia ingin
dan/atau perlu dikembangkan pada dirinya. Melalui konseling, klien
menginginkan agar ia mendapatkan suasana fikiran yang jernih dan/atau
perasaan yang lebih nyaman, memperoleh nilai tambah, hidup yang lebih
berarti, dan hal-hal positif lainnya dalam menjalani hidup sehari-hari
dalam rangka kehidupan dirinya secara menyeluruh.
Klien datang dan bertemu konselor dengan cara yang berbeda-beda. Ada
yang datang sendiri dengan kemauan kuat untuk menemui konselor
(self-referal), ada yang datang dengan perantara orang lain, bahkan ada
yang datang (mungkin terpaksa) karena didorong atau diperintah oleh
pihak lain. Kedatangan klien bertemu konselor disertasi dengan kondisi
tertentu yang ada pada klien. Apapun latar belakang kedatangan klien dan
bagaimanapun kondisi klien, harus disikapi, diperhatikan, diterima, dan
dilayani sepenuhnya oleh konselor.
3. Konteks Hubungan Konselor-Klien
Dalam konseling, hubungan konselor dengan klien berada dalam konteks
hubungan membantu (helping relationship), yaitu hubungan untuk
meningkatkan pertumbuhan, kematangan, fungsi, dan cara menghadapi
kehidupan dengan memanfaatkan sumber-sumber internal pada pihak klien.
Karakteristik dinamika dan keunikan hubungan konselor-klien adalah sebagai berikut.
a. Afeksi.
Hubungan konselor dengan klien sejatinya lebih sebagai hubungan afeksi
dari pada sebagai hubungan kognitif. Hubungan afeksi akan tercermin
sepanjang proses konseling termasuk dalam melakukan eksplorasi terhadap
persepsi dan perasaan-perasaan subyektif klien. Hubungan yang penuh
afeksi ini dapat mengurangi rasa kecemasan dan ketakutan pada klien
b. Intensitas.
Hubungan konselor dengan klien dilakukan dengan penuh intensitas
sehingga memfasilitasi klien untuk terbuka terhadap persepsinya. Tanpa
adanya hubungan yang penuh intensitas ini hubungan konseling tidak akan
mencapai pada tingkatan yang diharapkan. Dalam konteks ini, konselor
perlu mengupayakan agar hubungannya klien dapat berlangsung secara
mendalam sejalan dengan perjalanan hubungan konseling.
c. Pertumbuhan dan perubahan
Hubungan konseling berifat dinamis, terus berkembang menuju pertumbuhan
dan perkembangan yang lebih optimal. Kedinamisan hubungan ini akan
tercermin dari waktu ke waktu terjadi peningkatan hubungan konselor
dengan klien, peningkatan pengalaman dan tanggung jawab klien.
d. Privasi
Pada prinsipnya dalam hubungan konseling perlu keterbukaan klien tentang
masalahnya. Keterbukaan klien tersebut bersifat konfidensial, konselor
harus menjaga kerahasiaan seluruh informasi tentang klien dan tidak
dibenarkan mengemukakan secara transparan kepada siapaun tanpa seizin
klien. Perlindungan jaminan ini adalah unik dan akan meingkatkan kemauan
klien membuka diri.
e. Dorongan
Dalam hubungan konseling, konselor memberikan dorongan kepada klien
untuk meningkatkan kemampuan dirinya dan berkembang sesuai dengan
kemampuannya. Memberikan dorongan kepada klien untuk meningkatkan
efektivitas perilakunya dan memotivasi untuk bertanggung jawab terhadap
keputusannya.
f. Kejujuran
Hubungan konselor dengan klien didasari atas kejujuran dan keterbukaan.
Dalam hubungan konseling tidak ada sandiwara dengan jalan menutupi
kelemahan, atau mengatakan yang bukan sejatinya. Konseolor dan klien
harus membangun hubungan secara jujur dan terbuka.
D. Proses Konseling
Secara menyeluruh dan umum, proses konseling perorangan dari kegiatan
paling awal sampai kegiatan akhir, terentang dalam lima tahap, yaitu :
(1) tahap pengantaran (introduction), (2) tahap penjajagan
(insvestigation), (3) tahap penafsiran (interpretation)` (4) tahap
pembinaan (intervention), dan (5) tahap penilaian (inspection). Di
antara kelima tahap itu tidak ada batas yang jelas, bahkan kelimanya
cenderung tumpang tindih. Dalam keseluruhan proses layanan konseling
perorangan, konselor harus menyadari posisi dan peran yang sedang
dilakukannya.
1. Pengantaran
Proses pengantaran mengantarkan klien memasuki kegiatan konseling dengan
segenap pengertian, tujuan, dan prinsip dasar yang menyertainya. Proses
pengantaran ini ditempuh melalui kegiatan penerimaan yang bersuasana
hangat, permisif, tidak menyalahkan, penuh pemahaman, dan penstrukran
yang jelas. Apabila proses awal ini efektif, klien akan termotivasi
untuk menjalani proses konseling selanjutnya dengan hasil yang lebih
menjanjikan.
2. Penjajagan
Proses penjajagan dapat diibaratkan sebagai membuka dan memasuki ruang
sumpek atau hutan belantara yang berisi hal-hal yang bersangkut paut
dengan permasalahan dan perkembangan klien. Sasaran penjajagan adalah
hal-hal yang dikemukakan klien dan hal-hal lain perlu dipahami tentang
diri klien. Seluruh sasaran penjajagan ini adalah berbagai hal yang
selama ini terpendam, tersalahartikan dan/atau terhambat perkembangannya
pada diri klien.
3. Penafsiran
Apa yang terungkap melalui panjajagan merupakan berbagai hal yang perlu
diartikan atau dimaknai keterkaitannya dengan masalah klien. Hasil
proses penafsiran ini pada umumnya adalah aspek-aspek realita dan
harapan klien dengan bebagai variasi dinamika psikisnya. Dalam rangka
penafsiran ini, upaya diagnosis dan prognosis, dapat memberikan manfaat
yang berarti.
4. Pembinaan (intervensi)
Proses pembinaan ini secara langsung mengacu kepada pengentasan masalah
dan pengembangan diri klien. Dalam tahap ini disepakati strategi dan
intervensi yang dapat memudahkan terjadinya perubahan. Sasaran dan
strategi terutama ditentukan oleh sifat masalah, gaya dan teori yang
dianut konselor, serta keinginan klien. Dalam langkah ini konselor dan
klien mendiskusikan alternatif pengentasan masalah dengan berbagai
konsekuensinya, serta menetapkan rencana tindakannya.
5. Penialaian
Upaya pembinaan melalui konseling diharapkan menghasilkan terentaskannya
masalah klien. Ada tiga jenis penilaian yang perlu dilakukan dalam
konseling perorangan, yaitu penialaian segera, penilaian jangka pendek,
dan penialaian jangka panjang.
Penialian segera dilaksanakan pada setiap akhir sesi layanan, sedang
penialaian pasca layanan selama satu minggu sampai satu bulan, dan
penialian jangka panjang dilaksanakan setelah beberapa bulan. Fokus
penilaian segera diarahkan kepada diperolehnya informasi dan pemahaman
baru (understanding), dicapaianya keringanan beban perasaan (comfort),
dan direncanakannya kegiatan pasca konseling dalam rangka perwujudan
upaya pengentasan masalah klien (action). Penilaian pasca konseling,
baik dalam jangka pendek (beberapa hari) maupun jangka panjang mengacu
kepada pemecahan masalah dan perkembangan klien secara menyeluruh.
Setiap penilaian, baik penilaian segera, jangka pendek, maupun jangka
panjang, perlu diikuti tindaklajutnya demi keberhasilan klien lebih
jauh. Tindak lanjut itu dapat berupa pemeliharaan kondisi, konseling
lanjutan, penerapan teknik lain, atau berupa alih tangan kasus.
E. Waktu dan Tempat
Layanan konseling perorangan hakikatnya dapat dilaksanakan kapan saja
dan di mana saja, atas kesepakatan konselor-klien, dengan memperhatikan
(1) kenyamanan klien dan (2) terjaminnya asas kerahasiaan. Kondisi
tempat layanan perlu mendapat perhatian tersendiri dari konselor. Selain
kursi dan meja secukupnya, ruangan konseling dapat dilengkapi dengan
tempat penyimpanan bahan-bahan seperti dokumen, laporan, dan buku-buku
lain. Peralatan rileksasi dapat ditambahkan. Cahaya dan udara ruangan
harus terpelihara. Dalam hal ini kondisi ruangan tempat layanan
diselenggarakan menggambarkan kesiapan konselor memberikan pelayanan
kepada klien.
Kapan layanan konseling perorangan dilaksanakan juga atas kesepakatan
kedua pihak. Kepentingan klien diutamankan tanpa mengabaikan kesempatan
dan kondisi konselor. Dalam hal konselor yang memiliki hak panggil atas
klien perlu mengatur pemanggilan terhadap klien sehingga tidak menganggu
kepentingan klien atau sedapat-dapatnya tidak menimbulkan kerugian
apapun pada diri klien.
Jadwal ataupun janji untuk bertemu konselor ditepati dengan baik,
pengingkarannya dapat berdampak negatif terhadap proses layanan
konseling perorangan. Apabila jadwal atau janji untuk bertemu itu perlu
diubah, maka klien harus diberitahu sebelum waktu yang
dijadwalkan/dijanjikan tiba. Untuk sesi-sesi layanan konseling
perorangan yang berlanjut (sesi kedua, ketiga, dsb) diperlukan ketetapan
mengenai waktu dan tempat yang disepakai dan ditepai oleh kedua belah
pihak.
Penutup
Layanan konseling perorangan merupakan upaya yang unik. Keunikannya itu
bersumber pada diri klien, masalah yang dialami klien dengan berbagai
keterkaitannya, serta diri konselor sendiri. Meskipun asas kekinian
harus selalu menjadi perhatian konselor, dan hal-hal baru serta unik
seringkali muncul dalam proses layanan, konselor sejak awalnya perlu
mempersiapkan diri dan merencanakan layanan konseling perorangan.
Kesiapan diri konselor secara profesional merupakan dasar profesional
merupakan dasar dari suksesnya layanan konseling perorangan.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, Yeo. 2002. Counseling : a Problem Solving Approach. Singapore : Armour Publishing Pte Ltd.
Corey, Gerald. 2004. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company
Lesmana, J.M. 2005. Dasar-dasar Konseling. Jakarta : UI-Press
May Rollo.2003. The Art of Counseling. New Jersey : Prentice Hall, Inc
Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang : FIP Universitas Negeri Padang
Prayitno. 2005. Layanan Konseling Perorangan. Padang : FIP Universitas Negeri Padang
KONSEP DASAR BIMBINGAN
KELOMPOK
DAN KONSELING KELOMPOK
DYP Sugiharto
A. Pendahuluan
Kiprah bimbingan dan konseling dewasa ini tidak lagi hanya terbatas pada
lingkungan pendidikan sekolah, melainkan menjangkau seting luar sekolah
dan masyarakat. Dalam era kesejagatan saat ini, individu dituntut agar
selalu mengembangkan dan/atau memperbaiki kecakapannya dalam memilih
informasi agar dapat mengambil keputusan secara tepat. Pengembangan
dan/atau perbaikan kecakapan semacam ini perlu dilakukan secara terus
menerus dalam bebagai aspek kehidupan melalui proses belajar sepanjang
hayat. Konseling merupakan wahana pelayanan yang mampu memfasilitasi
individu dan kelompok untuk menghadapi perubahan yang pesat dan ragam
informasi yang amat kompleks.
Pelayanan konseling yang diluncurkan dengan kerangka kerja kelompok
dapat berbentuk Layanan Konseling Kelompok (KKp) atau Layanan Bimbingan
Kelompok (BKp). Kondisi riil di lapangan menunjukkan adanya bahwa
Layanan KKp dan/atau BKp ini semakin menjadi unggulan dan primadona
dalam keseleruhan penyelenggaraan program konseling. Kondisi ini terjadi
karena Layanan KKp dan/atau BKp memiliki beberapa keunggulan mendasar,
antara lain : (1) membantu seseorang atau sejumlah orang yang tidak siap
dan terbuka secara perorangan menemui konselor, (2) memfasilitasi
individu atau sekelompok individu yang lebih berani berbicara dan
terbuka saat bersama-sama temannya, (3) dapat melayani sejumlah orang
dalam waktu yang bersamaan, (4) menimbulkan keakraban, membangun suasana
saling percaya, saling membantu, dan empati diantara sesama anggota
kelompok dan konselor, (5) menemukan alternatif pemecahan masalah yang
lebih banyak dan bervariasi, karena mengemukanya berbagai pemikiran dari
anggota, (6) praktis, dalam arti dapat dilakukan di mana saja, di dalam
ruangan atau di luar ruangan, di sekolah atau di luar sekolah, di rumah
salah seorang peserta atau dirumah konselor, di suatu kantor, atau di
ruang praktik pribadi konselor.
Konsekuensi logis dari perspektif yang dideskripsikan di atas adalah
adanya tuntutan pelayanan KKp dan atau BKp yang profesional. Konseling,
dalam bentuk perorangan atau kelompok, esensinya merupakan proses
bantuan untuk mengentaskan masalah yang terbangun dalam suatu hubungan
tatap muka antara dua orang individu (klien yang mengahadapi masalah
dengan konselor yang memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan). Bantuan
dimaksud diarahkan agar klien mampu memecahkan masalah yang dihadapinya
dan mampu tumbuh kembang ke arah yang dipilihnya, sehingga klien mampu
mengembangkan dirinya ke arah peningkatan kualitas kehidupan sehari-hari
yang efektif (effektive daily living). Hubungan dalam proses konseling
terjadi dalam suasana profesional dengan menyediakan kondisi yang
kondusif bagi perubahan dan pengembangan diri klien.
Konseling profesional merupakan layanan terhadap klien yang dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh dan dapat dipertanggungjawabkan dasar keilmuan
dan teknologinya. Penyelenggaraan konseling profesional bertitik tolak
dari teori dan/atau pendekatan-pendekatan yang dijadikan sebagai dasar
acuannya.
Implikasi dari tuntutan ini adalah, para calon konselor profesional
perlu dipersiapkan melalui pembekalan terprogram untuk memperoleh
pengalaman mengelola KKp dan/atau BKp secara langsung dengan sejumlah
kelompok klien yang bervariasi.
B. Pengertian Dasar
Layanan Konseling Kelompok (KKp) dan/atau Bimbingan Kelompok (BKp)
merupakan jenis layanan koseling yang mengikutkan sejumlah peserta dalam
bentuk kelompok, dengan konselor sebagai pemimpin kelompok. Layanan ini
mengaktifkan dinamika kelompok untuk membahas berbagai hal yang berguna
bagi pengembangan pribadi dan/atau pemecahan masalah individu yang
menjadi peserta kegiatan kelompok.
Dalam BKp dibahas topik-topik umum yang menjadi kepedulian bersama
anggota kelompok, sedangkan dalam KKp dibahas masalah pribadi yang
dialami masing-masing anggota kelompok. Baik topik umum maupun masalah
pribadi itu dibahas melalui suasana dinamika kelompok yang intensif dan
konstruktif. Layanan ini dapat dilakukan di mana saja, di dalam ruangan
atau di luar ruangan, di sekolah atau di luar sekolah, di rumah salah
seorang peserta atau dirumah konselor, di suatu kantor, atau di ruang
praktik pribadi konselor. Di manapun kedua jenis layanan ini
dilaksanakan, harus terjamin bahwa dinamika kelompok dapat berkembang
dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan kelompok.
C. Tujuan
Tujuan umum layanan BKp dan/atau KKp adalah berkembangnya kemampuan
sosialisasi anggota kelompok, khususnya kemampuan dalam berkomunikasi.
Secara khususkhusus tujuan BKp dan KKp adalah sebagai berikut.
1. BKp bertujuan membahas topik-topik tertentu yang mengandung
permasa-lahan actual dan menjadi perhatian anggota kelompok. Melalui
dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topic-topik itu mendorong
pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap yang
menunjang diwujudkannya tingkah laku yang lebih efektif. Dalam hal ini
kemampuan berkomunikasi, verbal maupun non verbal, ditingkatkan.
2. KKp terfokus pada pembahasan masalah pribadi salah satu anggota
kelompok secara bergantian. Melalui layanan kelompok yang intensif dalam
upaya pemecahan masalah tersebut para anggota kelompok memperoleh dua
tujuan sekaligus, yaitu :
a. terkembangkannya perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap
terarah pada ting-kah laku khususnya dalam bersosialisasi/komunikasi
b. terpecahkannya masalah individu yang bersangkutan dan diperolehnya
imbasan pemecahan masalah tersebut bagi anggota kelompok yang lain.
C. Tahap Bimbingan dan Konseling Kelompok
1. Tahap Pembentukan
Tahap ini merupakan tahap pengenalan dan penjajakan, dimana para
peserta diharapkan dapat lebih terbuka menyampaikan harapan keinginan
dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing anggota.
Penampilan pemimpin kelompok pada tahap ini hendaknya benar-benar bisa
meyakinkan anggota kelompok sebagai orang yang bisa dan bersedia
membantu anggota kelompok mencapai tujuan yang diharapkan.
Dalam memulai pembentukan kelompok perlu adanya perencanaan yang matang.
Oleh karena itu keberhasilan kelompok yang dibentuk tidak terlepas dari
perencanaan dan pelaksanaan konseling kelompok itu sendiri. Berbagai
ahli telah mengenali tahap-tahap perkembangan itu. Mereka memakai
istilah yang kadang-kadang berbeda namun pada dasarnya mempunyai isi
yang sama.
Beberapa tahapan dalam pembentukan kelompok adalah sebagai berikut.
a. Mengembangkan alasan-alasan pembentukan kelompok.
Alasan yang jelas dan terarah merupakan kunci yang paling penting dalam merencanakan pembentukan suatu kelompok.
b. Adanya konsep teori yang jelas yang mendasari pembentukan suatu kelompok.
Sebagai layanan profesional, dalam bimbingan dan konseling kelompokperlu
adanya batasan dan kekuatan untuk membentuk suatu kelompok. Waldo
(1985) mengungkapkan konsep teorinya melalui I / We /It. “I” sebagai
individual yaitu interpersonal yang difokuskan pada kepercayaan, sikap
dan perasaan tentang dirinya. “We” sebagai interpersonal yang menyangkut
hubungan antara anggota kelompok. “It” sebagai dimensi ekstrapersonal
yang menyangkut isu-isu, tugas-tugas atau menyangkut kelompok.
c. Mempertimbangkan kondisi kehidupan sehari-hari
Pembentukan suatu kelompok perlu mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya
spesifik, konkrit, dan tujuannya praktis serta prosedural. Pemimpin
kelompok harus sensitif terhadap kondisi realita agar dapat mencegah
reaksi-reaksi negatif dari para anggota kelompok.
d. Mempublikasikan kelompok umtuk mendapatkan anggota
Kelompok yang potensial yang mau bergabung diperlukan publikasi kelompok agar diketahui secara umum.
Pemimpin kelompok yang pandai melakukan pendekatan dengan memperkenalkan
diri secara terbuka, menjelaskan prosesnya sebagai pemimpin kelompok
dengan menggunakan komunikasi yang hangat dan bersahabat akan lebih
mudah diterima oleh anggota dalam menjalankan kegiatan kelompok.
Pemimpin kelompok dalam tahap ini diharapkan juga harus pandai membaca
situasi. Mungkin saja dalam situasi pembentukan ini keakraban dan
keterikatan anggota kelompok belum terjalin. Bisa saja antara anggota
yang satu dengan yang lainnya belum saling kenal mengenal.
Apabila keadaan seperti yang dikemukakan di atas memang dirasakan
terjadi dalam kelompok, maka tugas pemimpin kelompok adalah membina
suasana keakraban dan merangsang keterlibatan anggota dengan menumbuhkan
semangat kebersamaan perasaan sekelompok. Bila masih dirasakan anggota
kelompok masih enggan memikul tugas atau tanggung jawab, atau masih
terjadi kebekuan suasana, maka pemimpin kelompok harus dapat merangsang
dan mengarahkan anggota kelompok. Misalnya dengan menggunakan pertanyaan
yang menyenangkan atau melalui permainan kelompok.
Berikut ini dikemukakan langkah-langkah pelaksanaan kegiatan yang seharusnya dilakukan dalam tahap pembentukan:
a. Menerima secara terbuka dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan kesediaan anggota kelompok melaksanakan kegiatan.
b. Berdoa secara bersama, sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-Menjelaskan pengertian bimbingan kelompok atau konseling kelompok
(disesuaikan dengan kegiatan apa yang direncanakan).
c. Menjelaskan tujuan bimbingan kelompok atau konseling kelompok.
d. Menjelaskan cara pelaksanaan bimbingan kelompok atau konseling kelompok.
e. Menjelaskan asas-asas bimbingan dan konseling yaitu asas kerahasiaan, kesukarelaan, kegiatan, keterbukaan, kenormatifan.
f. Melaksanakan perkenalan dilanjutkan dengan permainan pengakraban.
2. Tahap Peralihan atau Transisi
Tahap transisi adalah suatu tahap setelah proses pembentukan dan sebelum
tahap kerja kelompok. Dalam kelompok yang diperkirakan berakhir 12-15
sesi, tahap transisi terjadi pada sesi kedua atau ketiga dan biasanya
berlangsung satu samapai tiga pertemuan. Tahap ini terdiri dari dua
bagian proses yang ditandai dengan ekspresi, sejumlah emosi dan
interaksi anggota. Tahap transisi dimulai dengan periode kekacauan
(storming) ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dari storming
yaitu berkaitan dengan hubungan antar teman, perlawanan, dan pemrosesan
antar tugas, norma dan norming, ada perbedaan sekaligus hubungan antara
konsep norma dan norming, norma adalah harapan-harapan tentang perilaku
anggota kelompok yang harus atau tidak harus dilakukan. Fungsi norma
kelompok adalah untuk mengatur penampilan kelompok sebagi unit yang
terorganisir dan mengarahkannya dalam tujuan-tujuannya. Norming adalah
perasaan akan “kekitaan”, identitas, kekelompokan, kesatuan yang muncul
ketika individu-individu merasa sebagai anggota suatu asosiasi atau
organisasi yang besar dari dirinya.
Secara operasional hakikat tahap ini merupakan transisi antara tahap
pembentukan dengan tahap kegiatan. Pada tahap ini pemimpin kelompok
sekali lagi harus jeli dalam melihat dan membaca situasi. Apabila masih
terlihat gejala-gejala penolakan, rasa enggan, salah paham, kurang
bersemangat dalam melaksanakan kegiatan maka pemimpin kelompok tidak
boleh binggung, apalagi berputus asa.
Menghadapi keadaan seperti di atas pemimpin kelompok hendaknya memiliki
kepekaan yang tinggi melalui penghayatan indera dan penghayatan rasa.
Tugas pemimpin kelompok menghadapi situasi seperti itu mendorong anggota
kelompok secara sukarela membuka diri untuk mengikuti kegiatan
kelompok. Penampilan pemimpin kelompok yang menggambarkan sikap yang
tulus, wajar, hormat, hangat dan empati akan sangat membantu mencairkan
suasana menuju tahap kegiatan.
Perlu diingat bahwa tahap kedua ini merupakan “jembatan” anatar tahap
pertama dan tahap ketiga. Adakalanya untuk menempuh jembatan itu dapat
dilalui dengan mudah, dan adakalanya ditempuh dengan sukar. Dalam keadan
seperti ini pemimpin kelompok harus berhasil membawa anggota kelompok
meniti jembatan itu dengan selamat. Kalau perlu beberapa hal pokok yang
sudah dibahas pada tahap pertama dapat dibahas kembali seperti asas
kerahasiaan, keterbukaan dan seterusnya.
Tahap peralihan dapat dilaksanakan melalui langkah-langkah:
a. Menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya
b. Menawarkan sambil mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya (tahap ketiga).
c. Mambahas suasana yang terjadi
d. Meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota
e. Kalau dipandang perlu, kembali ke beberapa aspek tahap pertama (tahap pembentukan)
3. Tahap Kegiatan
Tahapan kegiatan merupakan tahap inti dari proses suatu kelompok dan
merupakan kehidupan yang sebenarnya dari kelompok. Tahapan kegiatan
selalu dianggap sebagai tahapan yang selalu produktif dalam perkembangan
kelompok yang bersifat membangun (contructive nature) dan dengan
pencapaian hasil yang baik (achievement of results) selama tahapan kerja
hubungan anggota kelompok lebih bebas dan lebih menyenangkan. Hubungan
antar anggota berkembang dengan baik (saling tukar pengalaman, membuka
diri secara bebas, saling tanggap dan tukar pendapat, dan saling
membantu). Dalam perkembangan kelompok, tahapan kegiatan merupakan
kekuatan therapeutik seperti keterbukaan terhadap diri sendiri dan orang
lain dan munculnya ide-ide baru yang membangun. Apapun yang menjadi
tujuan, suatu kelompok yang sehat akan menampilkan keakraban,
keterbukaan (self disclosure), umpan balik, kerja kelompok, konfrontasi
dan humor. Perilaku-perilaku positif yang dinyatakan dalam hubungan
interpersonal antar anggota akan muncul dalam hubungan sebaya (peer
relationships).
Tahap ini sangat menentukan keberhasilan kegiatan kelompok. Jika tahap
sebelumnya berhasil dengan baik, maka tahap ini akan berlangsung dengan
lancar.
Dalam BKp tahap ini diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan :
a. Masing-masing anggota secara bebas mengemukakan topik bahasan
(kelompok bebas); Pemimpin kelompok mengemukakan suatu topik untuk
dibahas oleh kelompok (kelompok tugas).
b. Menetapkan topik yang akan dibahas terlebih dahulu (kelompok bebas);
Tanyan jawab antara anggota dan pemimpin kelompok tentang hal-hal yang
belum jelas, yang menyangkut topik yang dikemukakan pemimpin kelompok
(kelompok tugas).
c. Anggota membahas topik secara mendalam dan tuntas.
d. Kegiatan selingan
Dalam KKp tahap ini diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan :
a. Setiap anggota kelompok mengemukakan masalah pribadi yang perlu mendapat bantuan kelompok untuk pengentasannya.
b. Kelompok memilih masalah mana yang hendak dibahas dan dientaskan pertama, kedua, ketiga, dst.
c. Klien (anggota kelompok yang masalahnya dibahas) memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai masalah yang dialaminya.
d. Seluruh anggota kelompok aktif membahas masalah klien melalui
berbagai cara, seperti : bertanya, menjelaskan, mengkritisi, memberi
contoh, mengemukakan pengalaman pribadi, menyarankan.
e. Klien setiap kali diberi kesempatan untuk merespon apa-apa yang ditampilkan oleh rekan-rekan anggota kelompok.
f. Kegiatan selingan
4. Tahap Pengakhiran
Tahap pengakhiran secara keseluruhan merupakan akhir dari serangkaian
pertemuan kelompok. Keseluruhan pengalaman yang diperoleh anggota
selama proses kerja ini memerlukan perhatian khusus dari pimpinan
kelompok, terutama ketika kelompok hendak dibubarkan. Pembubaran
kelompok secara keselruhan idealnya dilakukan setelah tujuan kelompok
tercapai. Tetapi adakalanya terjadi lebih cepat dari yang direncanakan
atau yang disebut pembubaran dini. Sesungguhnya pembubaran kelompok
dalam proses layanan kelompok bimbingan dan konseling adalah proses
alamiah yang harus disadari oleh pimpinan dan anggotaanggotanya, dan
mereka diharapkan dapat mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin untuk
menghadapi pembubaran itu. Oleh karena itu kegiatan utama anggota
kelompok, menjelang kelompok dibubarkan adalah (1) membayangkan kembali
pengalaman mereka selama kerja kelompok berlangsung. (2) memproses
kembali ingatannya. (3) mengevaluasi. (4) mengakui dan mengakomodasikan
perasaan-perasaan anggota kelompok dan mengakomodasikan
perasaan-perasaan anggota yang saling bertentangan dan (5) membantu
anggota dalam membuat keputusannya secara kognitif untuk menghadapi masa
depan. Oleh karena itu untuk mencapai sasaran pembubaran kelompok perlu
diperhatikan beberapa hal diantaranya menyangkut persiapan dampak
pembubaran terhadap anggota, kemungkinan pembubaran dini, prosedur
pembubaran, masalah-masalah yang terkait dengan pembubaran dan hal-hal
lain yang menyangkut tindak lanjut.
Sebagai tahap penutup dari kegiatan BKp dan/atau KKp. Tugas pemimpin kelompok dalam tahap ini adalah sebagai berikut.
a. Mengemukakan bahwa kegiatan akan segera diakhiri
b. Pemimpin kelompok dan anggota kelompok mengemukakan kesan dan hasil-hasil kegiatan.
c. Membahas kegiatan lanjutan
d. Mengemukakan pesan dan harapan
e. Doa penutup
5. Evaluasi Kegiatan
Penilaian terhadap kegiatan konseling kelompok dapat dilakukan secara
tertulis dimana para peserta diminta mengungkapkan perasaannya,
harapannya, minat dan sikapnya terhadap berbagai hal, baik yang telah
dilakukan selama kegiatan kelompok (yang menyangkut isi maupun proses)
maupun kemungkinan keterlibatan mereka untuk kegiatan serupa
selanjutnya. Pada tahap ini dilakukan tinjauan terhadap kualitas
kegiatan kelompok dan hasil-hasilnya melalui pengungkapan kesan-kesan
peserta. Kondisi UCA (Understanding Comfort Action) menjadi fokus
penilaian hasil-hasil konseling kelompok. Penilaian dilakukan dalam tiga
tahap yaitu penilaian segera (laiseg) dilakukan pada akhir setiap sesi
layanan, penilaian jangka pendek (laijapen) dan penilaian janka panjang
(laijapang).
Sumber: http://konselorindonesia.blogspot.com
Read More »
Tags:
Pendidikan,
PSIKOLOGI