Download

Selasa, 06 Desember 2011

Teori Psikoanalisa yang Menggambarkan Kepribadian Menurut Freud & Ericson

Diposting oleh A'an Setiawan at Selasa, Desember 06, 2011
I.            TEORI SIGMUND FREUD
Psikoanalasis
Sigmund Freud, Bapak psikoanalsis ini dilahirkan di Moravia pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal pada tanggal 23 September 1939. Pada tahun 1873, ia masuk fakultas kedokteran Universitas Wina, dan tamat pada tahun1881.
Pada tahun 1902, Freud mengundang segelintir dokter-dokter muda Wina guna mendiskusikan isu-isu psikologis. Kelima pria, Freud, Alfred Adler, Wilhelm Stekel, Max Kahane, dan Rudolf Reitler membentuk Wednesday Psychological Society, dengan Freud sebagai pemimpin diskusi. Tahun 1908, organisasi ini mengambil nama yang lebih formal – Vienna Psychoanalityc Society. Pada tahun 1910, Freud dan para pengikutnya membentuk Asosiasi Psikoanalisis Internasional (International Psychoanalitic Association) yang diketuai oleh Carl Jung yang berasal dari Zurich.

A.    POKOK-POKOK TEORI KEPRIBADIAN FREUD
Teori Freud mengenai kepribadian dapat dijelaskan dalam rangka struktur, dinamika dan perkembangan kepribadian.
1.      Struktur Kepribadian
a.      Das Es (Id)
Istilah yang diambil dari kata ganti untuk “sesuatu” atau “itu”. Id tidak mempunyai kontak dengan dunia nyata, tetapi selalu berupaya untuk meredam ketegangan dengan cara memuaskan hasrat-hasrat dasar. Aspek ini adalah aspek biologis dan merupakan sistem original di dalam kepribadian. Id berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir, termasuk instink-instink, Id merupakan “reservoir” energi psikis yang menggerakkan Das Ich (ego) dan Das Ueber Ich (super ego). Energi psikis dalam Id dapat meningkat karena adanya perangsang, baik perangsang dari luar maupun perangsang dari dalam. Apabila energi itu meningkat dapat menimbulkan ketegangan, dengan segera Id mereduksikan energi untuk menghilangkan ketegangan, pedoman ini disebut Freud dengan “Prinsip Kenikmatan” (pleasure priciple). Untuk mencapai kenikmatan, Id mempunyai duacara (alat proses), yaitu :
·         Refleks dan reaksi-reaksi otomatis, misalnya bersin, berkedip.
·         Proses primer, misalnya orang lapar membayangkan makanan.
Seluruh energi Id dicurahkan demi satu tujuan semata yaitu mencari kesenangan tanpa peduli apakah kesenanga tersebut sesuai atau tidak untuk ditampilkan. Singkatnya, Id adalah wilayah yang primitif, kacau balau, dan tidak terjangkau oleh alam sadar.
b.      Das Ich (Ego)
Ego atau saya, adalah satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak dengan realita. Aspek ini adalah aspek psikologis dari kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan kenyataan (realita). Sebagi satu-satunya wilayah dari pikiran yang berhubungan dengan dunia luar (realita), maka Ego pun mengambil peran eksekutif atau pengambil keputusan dari kepribadian. Di dalam fungsinya,  Ego berpegang pada prinsip kenyataan (reality priciple), yaitu Ego harus menimbang-nimbang antara sederetan tuntutan Id yang tidak masuk akan dan saling bertentangan dengan Super Ego. Jadi, Ego terus menerus berupaya untuk mengendalikan tuntutan buta dan irasional dari Id serta Super Ego dengan tuntutan realistis dari dunia luar. Terjepit oleh tiga sisi kekuatan yang saling berbeda dan berlawanan satu dengan yang lainnya, maka Ego pun memunculkan reaksi yang sudah bisa kita perkirakan yaitu cemas. Oleh karena itu, Ego menggunakkan represi dan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) lainnya untuk melindungi diri dari kecemasan tersebut.
Menurut Freud (1933/ 1964), Ego berkembang terpisah dari Id ketika bayi belajar untuk membedakan dirinya dengan dunia luar. Sementara Id tetap tak berubah, Ego terus mengembangkan aneka strategi untuk mengontrol tuntutan-tuntutan Id akan kesenangan yang tidak realistis. Kadang-kadang Ego sanggup mengekang dorongan Id yang serba kuat dan mencari kesenangan, kadang-kadang Id gagal memegang kendali. Ego terus tarik ulur dengan dorongan-dorongan Id, tetapi Ego sebetulnya berada dalam genggaman Id yang lebih kuat tetapi tidak teratur. Ego tidak mempunyai kekuatan sendiri karena Ego meminjam energi dari Id. Sekalipun bergantung pada Id, terkadang Ego berhasil memegang kendali penuh, contohnya pada seseorang yang telah matang secara psikologis.
c.       Das Ueber Ich (Super Ego)
Super ego mewakili aspek-aspek moral dan ideal dari kepribadian serta dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralitas dan idealis yang berbeda dengan prinsip kesenangan dari Id dan prinsir realistis dari Ego.
Super ego memiliki dua subsistem, suara hati dan ego ideal. Freud tidak membedakan kedua fungsi ini secara jelas, tetapi secara umum, suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman mendapatkan hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal berkembang dari pengalaman mendapatkan imbalan atas perilaku yang tepat dan mengarahkan kita pada hal-halyang sebaiknya dilakukan.
Super ego yang berkembang dengan baik berperan dalam mengendalikan dorongan seksual dan agresif melalui proses represi. Super ego tidak bisa menghasil represi sendiri, tetapi super ego bisa memerintahkan ego untuk melakukan hal tersebut (mekanisme pertahanan). Adapun fungsi pokok super ego itu dapat dilihat dalam hubungan dengan ketiga wilayah  pikiran, yaitu :
·         Merintangi impuls-impuls Id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif yang pernyataannya sangat ditentang oleh masyarakat.
·         Mendorong Ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralistis daripada yang realistis.
·         Mengejar kesempurnaan.
Freud menggarisbawahi bahwa antar wilayah pikiran  tersebut tidak dipisahkan secara tegas maupun dibagi oleh sekat yang jelas. Perkembangan ketiga wilayah pikiran ini bervariasi antar individu yang berbeda. Bagi sebagian orang, super ego baru berkembang setelah masa kanak-kanak, sedangkan bagi yang lain, super ego mendominasi kepribadian lewat rasa bersalah dan perasaan inferior. Sedangkan bagi yang lain lagi, ego dan super ego bergantian mengendalikan kepribadian sehingga mengakibatkan mood berfluktuasi secara ekstrim dan muncul siklus di mana rasa percaya diri dan rasa menghukum diri sendiri muncul bergantian. Pada individu yang sehat, Id dan super ego terintegrasi ke dalam ego yang berfungsi baik dan beroperasi harmonis dengan konflik yang minim.

B.     DINAMIKA KEPRIBADIAN
Tingkat kehidupan mentaldan wilayah pikiran mengacu pada struktur atau komposisi kepribadian, tetapi kepribadian itu sendiri juga bertindak. Sehingga Freud mengusulkan sebuah dinamika atau prinsip motivasional untuk menerangkan kekuatan-kekuatan yang mendorong  tindakan  manusia. Motivasi ini diperoleh dari energi psikis dan fisik dari dorongan-dorongan dasar yang mereka miliki.

C.    DORONGAN-DORONGAN
Menurut Freud (1933/ 1964), berbagai macam dorongan bisa digolongkan berdasarkan dua kategori, yaitu seks atau Eros dan agresi, distraksi, atau Thanatos. Freud menggunkkan istilah libido untuk dorongan seks, sedangkan energiuntuk dorongan agresitidak diberi nama. Setiap dorongan dasar memiliki desakan (impetus), sumber, tujuan dan objek. Desakan dorongan adalah besar kekuatan dari dorongan yang keluar. Sumber dorongan adalah bagian tubuh yang mengalami ketegangan atau rangsangan. Tujuan dorongan adalah untuk memperoleh kepuasan dengan cara meredam rangsangan atau mengurangi ketegangan. Objek dorongan adalah orang atau benda yang dijadikan alat untuk memperoleh tujuan (Freud, 1915/1957a).

D.    SEKS
Tujuan dorongan seksual adalah kesenangan, tetapi kesenangan ini tidak terbatas pada pemuasan genital. Freud meyakini bahwa seluruh tubuh dialiri oleh libido. Selain genital, mulut dan anus juga mampu menghasilkan kesenangan seksual dan dikenal sebagai zona erogenus (erogenous zones). Seks bisa muncul dalam berbagai bentuk, termasuk narsisme, cinta, sadisme, dan masokisme. Dua bentuk terakhir, memiliki konponen yang besar dari dorongan agresif.
Narsisme pertama umumnya terjadi pada bayi (self centered). Ketika ego berkembang anak melepas narsisme pertamanya dan mengembangkan ketertarikan yang lebih besar pada orang lain ( secondary narcissism ). Manifestasi ke dua dari eros adalah cinta, yang berkembang pada saat orang mengarahkan libido mereka pada objek atau orang selain diri mereka sendiri. Tmapak jelas bahwa cinta dan narisisme saling terkait erat. Narsisme mencakup cinta pada diri sendiri, sedangkan cinta mencakup kecenderungan narsisme, seperti rasa cinta seseorang kepada sosok yang dia pandang ideal atau model dari apa yang mereka capai. Dua dorongan lain yang juga saling terkait adalah sadisme dan masokisme. Sadisme adalah kebutuhan akan kesenangan seskual dengan cara menimbulkan rasa sakit atau mempermalukan orang lain. Masokisme, seperti juga sadisme, merupakan kebutuhan yang lazim, tetapi berubah menjadi kelainan apabila eros tunduk pada dorongan pengrusakan.

E.     AGRESI
Tujuan akhir dari dorongan agresi adalah penghancuran diri. Serupa dengan dorongan seksual, agresi bersifat fleksibel dan bisa berubah bentuk, misalnya dengan menggoda, bergosip, sarkasme, mempermalukan orang lain, humor, dan menikmati penderitaan orang lain. Dorongan agresi ini juga menjelaskan adanya kebutuhan seseorang untuk membangun tembok pembatas guna mengendalikan agresi.

F.     KECEMASAN
Kecemasan menduduki posisi sentral dalam teori dinamika freud. Dalam mendefiniskan kecemasan, Freud (1933/1964) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan situasi afektif yang di rasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam. Ketergantungan ego pada id menyebabkan munculnya kecemasan neurosis, sedangkan ego pada super ego memunculkan kecemasan moral, dan ketergantungannya pada dunia luar mengakibatkan kecemasan relistis. Kecemasan neurosis adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak diketahui. Kecemasan moral, berakar dari konflik antar ego super ego. Kecemasan realistis terkait erat dengan rasa takut. Kecemasan ini didefinisikan sebagai perasaan yang tidak menyenangkan dan tidak spesifik yang mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang mengamankan ego karena memberi sinyal bahwa ada bahaya didepan mata (Freud, 1933/1964). Kecemasan juga mengatur dirinya sendiri (self regulating) karena bisa memicu represi, yang kemudian mengurangi rasa sakit akibat kecemasan tadi (Freud, 1933/1964).

G.    MEKANISME PERTAHANAN DIRI
Freud pertama kali mengembangkan pemikiran tentang mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) ini pada tahun 1926 (Freud, 1926/1959a). Mekanisme-mekanisme pertahanan utama yang didentifikasi oleh Freud mencakup :
1.      Represi
Represi atau penekanan adalah pengertian yang mula-mula sekali dalam psikoanalisis. Freud menganggap kepribadian itu terdiri dari 3 bagian:
a.         Alam sadar (kesadaran)
b.        Alam prasadar (keprasadaran)
c.         Alam tak sadar (ketaksadaran)
Dalam banyak kasus, represi dapat muncul sepanjang hidup. Penekanan terjadi apabila suatu pemilihan objek dipaksa keluar dari kesadaran oleh anti cathexis. Penekanan dapat juga mempengaruhi normalnya fungsi badan, misalnya seseorang mungkin menjadi impotent karena takut impuls-impuls seksual.
2.      Pembentukan Reaksi
Pembentukan reaksi adalah penggantian impuls atau perasaan yang menimbulkan ketakutan atau kecemasan dengan lawannya didalam kesadaran. Perilaku reaktif ini bisa dikenali dari sifatnya yang berlebih-lebihan dan bentuk yang obsesif juga kompulsif.
3.      Pengalihan (displacement)
Freud (1926/1959a), meyakini bahwa hanya pada satu objek tunggal. Misalnya, orang yang memiliki rasa cinta yang reaktif akan membanjiri orang yang diam-diam mereka benci dengan perhatian yang berlebihan. Akan tetapi, pada pengalihan, orang bisa mengarahkan dorongan-dorongan yang tak sesuai ini pada sejumlah orang atau objek sehingga dorongan aslinya terselubung atau tersembunyi.
4.      Fiksasi
Secara teknis, fiksasi adalah keterikatan permanen dari libido pada tahap perkembangan sebelumnya yang lebih primitif (freud, 1917/1963). Sama dengan pertahanan lainnya, fiksasi bersifat universal.
5.      Regresi
Regresi sangat erat hubungannya dengan fiksasi. Pada saat lbido melewati tahap perkembangan tertentu, dimasa-masa penuh stess dan kecemasan, libido dapat kembali ketahap yang sebelumnya. Langkah mundur ini dikenal, dengan regresi (Freud, 1917/1963)
6.      Proyeksi
Manakala dorongan dari dalam menyebabkan kecemasan yang berlebihan, ego biasanya mengurangi rasa cemas tersebut dengan mengarahkan dorongan yang tidak diinginkan ke objek eksternal, biasanya ke orang lain. Inilah yang disebut dengan mekanisme pertahanan proyeksi, yang didefinisikan sebagai melihat dorongan atau perasaan orang lain yang tidak dapat diterima, padahal sebenarnya perasaan atau dorongan tersebut ada dialam tidak sadar dari diri sendiri(freud, 1915/1957b). Jenis proyeksi yang ekstrim adalah paranoid, yaitu kelainan mental yang ditandi dengan pikiran-pikiran keliru(delusi) yang begitu kuat beruapa rasa cemburu terhadap orang lain dan merasa dikejar-kejar oleh orang lain.paranoid tidak selalu muncul akibat proyeksi, tetapi merupakan jenis ekstrim dari proyeksi.
7.      Introyeksi
Introyeksi adalah mekanisme pertahanan dimana seseorang meleburkan sifat-sifat positif orang lain kedalam egonya sendiri.
8.      Sublimasi
Merupakan represi dari tujuan genital dari Eros dengan cara menggantinya ke hal-hal yang bisa diterima, baik secara kultural ataupun sosial. Tujuan sublimasi diungkapkan secara jelas terutama melalui pencapaian kultural kreatif, seperti pada seni, musik, juga sastra, lebih tepatnya, pada segala bentuk hubungan antar manusia dan aktifitas sosial lainnya.
Semua mekanismae pertahan itu mempunyai kesamaan sifat-sifat yaitu:
1.      Kesemuanya itu menolak, memalsukan atau menganggu kenyataan.
2.      Kesemuanya itu bekerja dengan tidak disadari, sehingga orangnya yang bersangkutantidak tahu apa yang sedang terjadi.

H.    PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Kepribadian itu berkembang dalam hubungannya dengan 4 macam sumber tegangan pokok, yaitu:
1.      Proses pertumbuhan fisiologis
2.      Frustasi
3.      Konflik
4.      Ancaman
Sebagai akibat dari meningkatnya tegangankarena keempat sumber itu maka orang terpaksa harus belajar cara-cara yang baru untuk mereduksi tegangan. Belajar mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksi tegangan inilah yang disebut perkembangan kepribadian.
Identifikasi dan pemindahan objek adalah cara atau metode-metode yang dipergunakan oleh individu untuk mengatasi frustasi,konflik serta kecemasan.
1.      Identifikasi
Identifikasi disini dapat diberi definisi sebagai metode yang dipergunakan orang dalam menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian daripada kepribadiannya. Dia belajar mereduksikan tegangan dengan cara bertingkah laku, seperti tingkah laku orang lain. Freud mempergunakan istilah identifikasi bukan imitasi, sebab menurut dia istilah imitasi mengandung arti peniruan yang dangkal, sedangkan dalam identifikasi apa yang ditiru itu lalu menjadi bagian daripada kepribadiannya.
2.      Pemindahan objek
Adapun arah pemindahan obyek ini ditentuan oleh dua faktor, yaitu:
a.       Kemiripan obyek pengganti terhadap obyek aslinya
b.      2.Sanksi-sanksi dan larangan-larangan masyarakat

I.       FASE-FASE PERKEMBANGAN
Tiap fase (terutama dari lahir sampai kira-kira umur lima tahun) ditentukan atas dasar cara-cara reaksi bagian tubuh tertentu. Adapun fase-fase tersebut ialah:
1.      Fase oral. Pada fase ini mulut merupakan daerah pokok aktivitas dinamis.
2.      Fase anal. Pada fase ini berpusat pada fungsi eliminatif (pembuangan kotoran).
3.      Fase falik. Pada fase ini alat-alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting.
4.      Fase laten. Pada fase ini impuls-impuls cenderung untuk ada dalam keadaan tertekan.
5.      Fase pubertas. Pada masa ini impuls-impuls muncul kembali.
6.      Fase genital




II.            TEORI PSIKOANALISA ERIKSON
Psikoanalisa Erikson
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
1.        Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain.
2.        Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman  baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan  yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.
3.        Inisiatif vs Kesalahan
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
4.        Kerajinan vs Inferioritas
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka. Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
5.        Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
6.        Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
7.        Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
8.        Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif  yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.


Sumber: http://chit.blog.com

  • Share On Facebook
  • Digg This Post
  • Stumble This Post
  • Tweet This Post
  • Save Tis Post To Delicious
  • Float This Post
  • Share On Reddit
  • Bookmark On Technorati

YOUR ADSENSE CODE GOES HERE

0 komentar:

Have any question? Feel Free To Post Below:

 
© 2012 SOFTECHNOGEEK | Modifikasi dan Publikasi Kodokoala. All Rights Reserved.