I.
TEORI SIGMUND FREUD
Psikoanalasis
Sigmund
Freud, Bapak psikoanalsis ini dilahirkan di Moravia pada tanggal 6 Mei 1856 dan
meninggal pada tanggal 23 September 1939. Pada tahun 1873, ia masuk fakultas
kedokteran Universitas Wina, dan tamat pada tahun1881.
Pada
tahun 1902, Freud mengundang segelintir dokter-dokter muda Wina guna
mendiskusikan isu-isu psikologis. Kelima pria, Freud, Alfred Adler, Wilhelm
Stekel, Max Kahane, dan Rudolf Reitler membentuk Wednesday Psychological
Society, dengan Freud sebagai pemimpin diskusi. Tahun 1908, organisasi ini
mengambil nama yang lebih formal – Vienna Psychoanalityc Society. Pada tahun
1910, Freud dan para pengikutnya membentuk Asosiasi Psikoanalisis Internasional
(International Psychoanalitic Association) yang diketuai oleh Carl Jung
yang berasal dari Zurich.
A. POKOK-POKOK
TEORI KEPRIBADIAN FREUD
Teori
Freud mengenai kepribadian dapat dijelaskan dalam rangka struktur, dinamika dan
perkembangan kepribadian.
1.
Struktur Kepribadian
a.
Das Es (Id)
Istilah
yang diambil dari kata ganti untuk “sesuatu” atau “itu”. Id tidak mempunyai
kontak dengan dunia nyata, tetapi selalu berupaya untuk meredam ketegangan
dengan cara memuaskan hasrat-hasrat dasar. Aspek ini adalah aspek biologis dan
merupakan sistem original di dalam kepribadian. Id berisikan hal-hal yang
dibawa sejak lahir, termasuk instink-instink, Id merupakan “reservoir” energi
psikis yang menggerakkan Das Ich (ego) dan Das Ueber Ich (super ego). Energi
psikis dalam Id dapat meningkat karena adanya perangsang, baik perangsang dari
luar maupun perangsang dari dalam. Apabila energi itu meningkat dapat
menimbulkan ketegangan, dengan segera Id mereduksikan energi untuk
menghilangkan ketegangan, pedoman ini disebut Freud dengan “Prinsip Kenikmatan”
(pleasure priciple). Untuk mencapai kenikmatan, Id mempunyai duacara
(alat proses), yaitu :
·
Refleks dan reaksi-reaksi otomatis, misalnya bersin,
berkedip.
·
Proses primer, misalnya orang lapar membayangkan makanan.
Seluruh
energi Id dicurahkan demi satu tujuan semata yaitu mencari kesenangan tanpa
peduli apakah kesenanga tersebut sesuai atau tidak untuk ditampilkan. Singkatnya,
Id adalah wilayah yang primitif, kacau balau, dan tidak terjangkau oleh alam
sadar.
b.
Das Ich (Ego)
Ego
atau saya, adalah satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak dengan
realita. Aspek ini adalah aspek psikologis dari kepribadian dan timbul karena
kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan kenyataan (realita).
Sebagi satu-satunya wilayah dari pikiran yang berhubungan dengan dunia luar
(realita), maka Ego pun mengambil peran eksekutif atau pengambil keputusan dari
kepribadian. Di dalam fungsinya, Ego berpegang pada prinsip kenyataan (reality
priciple), yaitu Ego harus menimbang-nimbang antara sederetan tuntutan Id
yang tidak masuk akan dan saling bertentangan dengan Super Ego. Jadi, Ego terus
menerus berupaya untuk mengendalikan tuntutan buta dan irasional dari Id serta
Super Ego dengan tuntutan realistis dari dunia luar. Terjepit oleh tiga sisi
kekuatan yang saling berbeda dan berlawanan satu dengan yang lainnya, maka Ego
pun memunculkan reaksi yang sudah bisa kita perkirakan yaitu cemas. Oleh karena
itu, Ego menggunakkan represi dan mekanisme pertahanan diri (defense
mechanism) lainnya untuk melindungi diri dari kecemasan tersebut.
Menurut
Freud (1933/ 1964), Ego berkembang terpisah dari Id ketika bayi belajar untuk
membedakan dirinya dengan dunia luar. Sementara Id tetap tak berubah, Ego terus
mengembangkan aneka strategi untuk mengontrol tuntutan-tuntutan Id akan
kesenangan yang tidak realistis. Kadang-kadang Ego sanggup mengekang dorongan
Id yang serba kuat dan mencari kesenangan, kadang-kadang Id gagal memegang
kendali. Ego terus tarik ulur dengan dorongan-dorongan Id, tetapi Ego
sebetulnya berada dalam genggaman Id yang lebih kuat tetapi tidak teratur. Ego
tidak mempunyai kekuatan sendiri karena Ego meminjam energi dari Id. Sekalipun
bergantung pada Id, terkadang Ego berhasil memegang kendali penuh, contohnya
pada seseorang yang telah matang secara psikologis.
c.
Das Ueber Ich (Super Ego)
Super
ego mewakili aspek-aspek moral dan ideal dari kepribadian serta dikendalikan
oleh prinsip-prinsip moralitas dan idealis yang berbeda dengan prinsip
kesenangan dari Id dan prinsir realistis dari Ego.
Super
ego memiliki dua subsistem, suara hati dan ego ideal. Freud tidak
membedakan kedua fungsi ini secara jelas, tetapi secara umum, suara hati lahir
dari pengalaman-pengalaman mendapatkan hukuman atas perilaku yang tidak pantas
dan mengajari kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan
ego ideal berkembang dari pengalaman mendapatkan imbalan atas perilaku yang
tepat dan mengarahkan kita pada hal-halyang sebaiknya dilakukan.
Super
ego yang berkembang dengan baik berperan dalam mengendalikan dorongan seksual
dan agresif melalui proses represi. Super ego tidak bisa menghasil represi
sendiri, tetapi super ego bisa memerintahkan ego untuk melakukan hal tersebut
(mekanisme pertahanan). Adapun fungsi pokok super ego itu dapat dilihat dalam
hubungan dengan ketiga wilayah pikiran, yaitu :
·
Merintangi impuls-impuls Id, terutama impuls-impuls seksual
dan agresif yang pernyataannya sangat ditentang oleh masyarakat.
·
Mendorong Ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralistis
daripada yang realistis.
·
Mengejar kesempurnaan.
Freud
menggarisbawahi bahwa antar wilayah pikiran tersebut tidak dipisahkan
secara tegas maupun dibagi oleh sekat yang jelas. Perkembangan ketiga wilayah
pikiran ini bervariasi antar individu yang berbeda. Bagi sebagian orang, super
ego baru berkembang setelah masa kanak-kanak, sedangkan bagi yang lain, super
ego mendominasi kepribadian lewat rasa bersalah dan perasaan inferior.
Sedangkan bagi yang lain lagi, ego dan super ego bergantian mengendalikan
kepribadian sehingga mengakibatkan mood berfluktuasi secara ekstrim dan
muncul siklus di mana rasa percaya diri dan rasa menghukum diri sendiri muncul
bergantian. Pada individu yang sehat, Id dan super ego terintegrasi ke dalam
ego yang berfungsi baik dan beroperasi harmonis dengan konflik yang minim.
B. DINAMIKA
KEPRIBADIAN
Tingkat
kehidupan mentaldan wilayah pikiran mengacu pada struktur atau komposisi
kepribadian, tetapi kepribadian itu sendiri juga bertindak. Sehingga Freud
mengusulkan sebuah dinamika atau prinsip motivasional untuk menerangkan
kekuatan-kekuatan yang mendorong tindakan
manusia. Motivasi ini diperoleh dari
energi psikis dan fisik dari dorongan-dorongan dasar yang mereka miliki.
C. DORONGAN-DORONGAN
Menurut
Freud (1933/ 1964), berbagai macam dorongan bisa digolongkan berdasarkan dua
kategori, yaitu seks atau Eros dan agresi, distraksi, atau Thanatos. Freud
menggunkkan istilah libido untuk dorongan seks, sedangkan energiuntuk dorongan
agresitidak diberi nama. Setiap dorongan dasar memiliki desakan (impetus),
sumber, tujuan dan objek. Desakan dorongan adalah besar kekuatan dari dorongan
yang keluar. Sumber dorongan adalah bagian tubuh yang mengalami ketegangan atau
rangsangan. Tujuan dorongan adalah untuk memperoleh kepuasan dengan cara
meredam rangsangan atau mengurangi ketegangan. Objek dorongan adalah orang atau
benda yang dijadikan alat untuk memperoleh tujuan (Freud, 1915/1957a).
D. SEKS
Tujuan
dorongan seksual adalah kesenangan, tetapi kesenangan ini tidak terbatas pada
pemuasan genital. Freud meyakini bahwa seluruh tubuh dialiri oleh libido.
Selain genital, mulut dan anus juga mampu menghasilkan kesenangan seksual dan
dikenal sebagai zona erogenus (erogenous zones). Seks bisa muncul dalam
berbagai bentuk, termasuk narsisme, cinta, sadisme, dan masokisme. Dua bentuk
terakhir, memiliki konponen yang besar dari dorongan agresif.
Narsisme
pertama umumnya terjadi pada bayi (self centered). Ketika ego berkembang
anak melepas narsisme pertamanya dan mengembangkan ketertarikan yang lebih
besar pada orang lain ( secondary narcissism ). Manifestasi ke dua dari
eros adalah cinta, yang berkembang pada saat orang mengarahkan libido mereka
pada objek atau orang selain diri mereka sendiri. Tmapak jelas bahwa cinta dan narisisme
saling terkait erat. Narsisme mencakup cinta pada diri sendiri, sedangkan cinta
mencakup kecenderungan narsisme, seperti rasa cinta seseorang kepada sosok yang
dia pandang ideal atau model dari apa yang mereka capai. Dua dorongan lain yang
juga saling terkait adalah sadisme dan masokisme. Sadisme adalah kebutuhan akan
kesenangan seskual dengan cara menimbulkan rasa sakit atau mempermalukan orang
lain. Masokisme, seperti juga sadisme, merupakan kebutuhan yang lazim, tetapi
berubah menjadi kelainan apabila eros tunduk pada dorongan pengrusakan.
E. AGRESI
Tujuan
akhir dari dorongan agresi adalah penghancuran diri. Serupa dengan dorongan
seksual, agresi bersifat fleksibel dan bisa berubah bentuk, misalnya dengan
menggoda, bergosip, sarkasme, mempermalukan orang lain, humor, dan menikmati
penderitaan orang lain. Dorongan agresi ini juga menjelaskan adanya kebutuhan
seseorang untuk membangun tembok pembatas guna mengendalikan agresi.
F. KECEMASAN
Kecemasan
menduduki posisi sentral dalam teori dinamika freud. Dalam mendefiniskan
kecemasan, Freud (1933/1964) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan situasi
afektif yang di rasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang
memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam. Ketergantungan ego pada id
menyebabkan munculnya kecemasan neurosis, sedangkan ego pada super ego
memunculkan kecemasan moral, dan ketergantungannya pada dunia luar
mengakibatkan kecemasan relistis. Kecemasan neurosis adalah rasa cemas akibat
bahaya yang tidak diketahui. Kecemasan moral, berakar dari konflik antar ego
super ego. Kecemasan realistis terkait erat dengan rasa takut. Kecemasan ini
didefinisikan sebagai perasaan yang tidak menyenangkan dan tidak spesifik yang
mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme
yang mengamankan ego karena memberi sinyal bahwa ada bahaya didepan mata
(Freud, 1933/1964). Kecemasan juga mengatur dirinya sendiri (self regulating)
karena bisa memicu represi, yang kemudian mengurangi rasa sakit akibat
kecemasan tadi (Freud, 1933/1964).
G. MEKANISME
PERTAHANAN DIRI
Freud
pertama kali mengembangkan pemikiran tentang mekanisme pertahanan diri (defense
mechanism) ini pada tahun 1926 (Freud, 1926/1959a). Mekanisme-mekanisme
pertahanan utama yang didentifikasi oleh Freud mencakup :
1.
Represi
Represi
atau penekanan adalah pengertian yang mula-mula sekali dalam psikoanalisis.
Freud menganggap kepribadian itu terdiri dari 3 bagian:
a.
Alam sadar (kesadaran)
b.
Alam prasadar (keprasadaran)
c.
Alam tak sadar (ketaksadaran)
Dalam
banyak kasus, represi dapat muncul sepanjang hidup. Penekanan terjadi apabila
suatu pemilihan objek dipaksa keluar dari kesadaran oleh anti cathexis.
Penekanan dapat juga mempengaruhi normalnya fungsi badan, misalnya seseorang
mungkin menjadi impotent karena takut impuls-impuls seksual.
2.
Pembentukan Reaksi
Pembentukan
reaksi adalah penggantian impuls atau perasaan yang menimbulkan ketakutan atau
kecemasan dengan lawannya didalam kesadaran. Perilaku reaktif ini bisa dikenali
dari sifatnya yang berlebih-lebihan dan bentuk yang obsesif juga kompulsif.
3.
Pengalihan (displacement)
Freud
(1926/1959a), meyakini bahwa hanya pada satu objek tunggal. Misalnya, orang
yang memiliki rasa cinta yang reaktif akan membanjiri orang yang diam-diam
mereka benci dengan perhatian yang berlebihan. Akan tetapi, pada pengalihan,
orang bisa mengarahkan dorongan-dorongan yang tak sesuai ini pada sejumlah
orang atau objek sehingga dorongan aslinya terselubung atau tersembunyi.
4.
Fiksasi
Secara
teknis, fiksasi adalah keterikatan permanen dari libido pada tahap perkembangan
sebelumnya yang lebih primitif (freud, 1917/1963). Sama dengan pertahanan
lainnya, fiksasi bersifat universal.
5.
Regresi
Regresi
sangat erat hubungannya dengan fiksasi. Pada saat lbido melewati tahap
perkembangan tertentu, dimasa-masa penuh stess dan kecemasan, libido dapat
kembali ketahap yang sebelumnya. Langkah mundur ini dikenal, dengan regresi
(Freud, 1917/1963)
6.
Proyeksi
Manakala
dorongan dari dalam menyebabkan kecemasan yang berlebihan, ego biasanya
mengurangi rasa cemas tersebut dengan mengarahkan dorongan yang tidak
diinginkan ke objek eksternal, biasanya ke orang lain. Inilah yang disebut
dengan mekanisme pertahanan proyeksi, yang didefinisikan sebagai melihat dorongan
atau perasaan orang lain yang tidak dapat diterima, padahal sebenarnya perasaan
atau dorongan tersebut ada dialam tidak sadar dari diri sendiri(freud,
1915/1957b). Jenis proyeksi yang ekstrim adalah paranoid, yaitu kelainan mental
yang ditandi dengan pikiran-pikiran keliru(delusi) yang begitu kuat beruapa
rasa cemburu terhadap orang lain dan merasa dikejar-kejar oleh orang
lain.paranoid tidak selalu muncul akibat proyeksi, tetapi merupakan jenis
ekstrim dari proyeksi.
7.
Introyeksi
Introyeksi
adalah mekanisme pertahanan dimana seseorang meleburkan sifat-sifat positif
orang lain kedalam egonya sendiri.
8.
Sublimasi
Merupakan
represi dari tujuan genital dari Eros dengan cara menggantinya ke hal-hal yang
bisa diterima, baik secara kultural ataupun sosial. Tujuan sublimasi
diungkapkan secara jelas terutama melalui pencapaian kultural kreatif, seperti
pada seni, musik, juga sastra, lebih tepatnya, pada segala bentuk hubungan
antar manusia dan aktifitas sosial lainnya.
Semua mekanismae pertahan itu
mempunyai kesamaan sifat-sifat yaitu:
1.
Kesemuanya itu menolak, memalsukan atau menganggu kenyataan.
2.
Kesemuanya itu bekerja dengan tidak disadari, sehingga
orangnya yang bersangkutantidak tahu apa yang sedang terjadi.
H. PERKEMBANGAN
KEPRIBADIAN
Kepribadian
itu berkembang dalam hubungannya dengan 4 macam sumber tegangan pokok, yaitu:
1.
Proses pertumbuhan fisiologis
2.
Frustasi
3.
Konflik
4.
Ancaman
Sebagai
akibat dari meningkatnya tegangankarena keempat sumber itu maka orang terpaksa
harus belajar cara-cara yang baru untuk mereduksi tegangan. Belajar
mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksi tegangan inilah yang disebut
perkembangan kepribadian.
Identifikasi
dan pemindahan objek adalah cara atau metode-metode yang dipergunakan oleh
individu untuk mengatasi frustasi,konflik serta kecemasan.
1. Identifikasi
Identifikasi
disini dapat diberi definisi sebagai metode yang dipergunakan orang dalam
menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian daripada kepribadiannya.
Dia belajar mereduksikan tegangan dengan cara bertingkah laku, seperti tingkah
laku orang lain. Freud mempergunakan istilah identifikasi bukan imitasi, sebab
menurut dia istilah imitasi mengandung arti peniruan yang dangkal, sedangkan
dalam identifikasi apa yang ditiru itu lalu menjadi bagian daripada
kepribadiannya.
2. Pemindahan objek
Adapun
arah pemindahan obyek ini ditentuan oleh dua faktor, yaitu:
a.
Kemiripan obyek pengganti terhadap obyek aslinya
b.
2.Sanksi-sanksi dan larangan-larangan masyarakat
I. FASE-FASE
PERKEMBANGAN
Tiap
fase (terutama dari lahir sampai kira-kira umur lima tahun) ditentukan atas
dasar cara-cara reaksi bagian tubuh tertentu. Adapun fase-fase tersebut ialah:
1. Fase oral. Pada fase ini mulut
merupakan daerah pokok aktivitas dinamis.
2. Fase anal. Pada fase ini berpusat
pada fungsi eliminatif (pembuangan kotoran).
3. Fase falik. Pada fase ini alat-alat
kelamin merupakan daerah erogen terpenting.
4. Fase laten. Pada fase ini
impuls-impuls cenderung untuk ada dalam keadaan tertekan.
5. Fase pubertas. Pada masa ini
impuls-impuls muncul kembali.
6. Fase genital
II.
TEORI PSIKOANALISA ERIKSON
Psikoanalisa Erikson
Erikson
dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa
pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan
oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian
atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan
kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya
ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering
meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu
pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan
dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian
yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan
sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya
sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan
dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan
perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan
seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang
berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan
psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori
psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital,
diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya
cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk
oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat
dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai
perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan
secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam
setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic
Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan
persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip
epigenetic
Delapan
tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap
tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat
sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan
dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut
Erikson adalah sebagai berikut :
1.
Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Tahap
ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun.
Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan
kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu
ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan
oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap
makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi)
dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang
secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih
kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi
dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan
dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman
untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling
menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang
diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi.
Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk
mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan
berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai
kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
Sebaliknya,
jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak
dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat
ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka
sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan
selalu curiga kepada orang lain.
Hal
ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada
kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan
menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini
dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan
pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat
padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang
seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi.
Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah
merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan
berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini
ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada
dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan
namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan
ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan
seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana
setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan
harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang
menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya
perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan
ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya
pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu
harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak
berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi
baik.
Pada
aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau
saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu,
pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin
dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan
tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan
tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya
akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain,
dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut.
Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang
dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi
suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara
interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan).
Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya
sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain.
2.
Otonomi vs Perasaan Malu dan
Ragu-ragu
Pada
tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya
disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4
tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi)
sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin
suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang
baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang
tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan
mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam
mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu
misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat
mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa
mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut
Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini
akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap
pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu
tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol
diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat
anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk
menyentuh benda-benda lain.
Di
lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu.
Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan
kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak
mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
Orang
tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak
dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang
diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun
nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna
dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan
bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan
ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri
bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap
maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu
menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan
malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi
yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak
selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang
mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna.
Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari
suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau
dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat
diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif
yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam
kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak
secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi
yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme.
Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat
menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku
orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola
pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni
merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak
yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada
penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa
ampun, dan tanpa rasa belas kasih.
3.
Inisiatif vs Kesalahan
Tahap
ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa
disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak
menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang
anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak
terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang
anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta
mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan
sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata
menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan
cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi,
semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami
hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi
dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa
bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa
yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian
(ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini
terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu
minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu
apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau
karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang
menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi
mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode
mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah
akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition).
Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk
mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan
merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan
atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu
kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi
yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam
pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak
dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani.
Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan
oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu,
rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa
keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan
pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
4.
Kerajinan vs Inferioritas
Tahap
keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6
sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah
dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa
rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas
dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek
memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi
perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan
ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya
hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa
rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam
belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya
berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan
tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak
dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu,
peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang
menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang
dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih
banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya
tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol
mereka. Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa
giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut
sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan
rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka
yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah
inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak
berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik
dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan
menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif
yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam
lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap
sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada
aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal
dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu
mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai
dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak
akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku.
Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat.
Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
5.
Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap
kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan
berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan
menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam
tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan
penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego,
dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan
bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap
ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan
masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini,
kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka
segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara
aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu
sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain,
selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah
menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka
sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi
nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang
lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap
pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu,
salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya
berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak
mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan
dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau
kekacauan identitas.
Akan
tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan
dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang
toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson
menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam
sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang
terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan
identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran.
Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa
atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang
merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang
mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan
akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau
antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang,
yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan
standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan,
kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam tahap
adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
6.
Keintiman vs Isolasi
Tahap
pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki
jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30
tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang
lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan
dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan
istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan
orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain
mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi,
peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap
ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara
baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya
kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana
seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati
tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya
dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita
cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson
menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup
diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga
muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang
dirasakan.
Oleh
sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan
seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks
teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk
perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang
dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga
hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi
yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi
menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan
cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme
menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang
lain.
7.
Generativitas vs Stagnasi
Masa
dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh
orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama
sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada
masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna
keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak
berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan.
Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui
generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman
ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri
sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak
perduli terhadap siapapun.
Maladaptif
yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya
waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah
penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan
kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area
kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan
yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara
generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik
yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan
otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara
baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan
para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa
memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta
memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa,
sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung
dengan baik dan menyenangkan.
8.
Integritas vs Keputusasaan
Tahap
terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh
orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang
yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap
sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan
berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang
sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah
merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja
dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan
tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi
dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni
menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu
sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak
terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat.
Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan
dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai,
sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua.
Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan
integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang
diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri.
Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin
dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.
0 komentar:
Have any question? Feel Free To Post Below: